I. Tahap Awal
Mbah R. Nur Faqih Harja Diwiryo, menempati lahan ini, dalam keadaan masih rawan dalam segala hal. Dengn ketekunan, kesabaran dan keikhlasannya, dapat di tempati bersama istri dan anaknya.
Pertama tanah yang ia tempati kurang lebih hanya 4 hektar, yang pada akhirnya dapat menambah beberapa hektar lagi sampai beliau wafat pada 1952.
II. Tahap Kedua
Tahun 1952 setelah ditinggal wafat Mbah R. Nur Faqih Harja Diwiryo yang masih ada kaitan silsilah dengan Mbah Sunan Giri ini, dilanjutkan oleh putra menantunya yang bernama Mbah KH. Mohammad Shoib. Beliau mulai merintis pengajian dimulai dari membaca Al Quran, lalu kejenjang semacam diniyah (manulis arab) dengan pelajaran tauhid, fiqih, ahlaq dan ilmu-ilmu agama yang lain.
Setelah ada santri beberapa anak, maka di kembangkan pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat sekitar untuk di ajak berjamaah seminggu sekali. Kegiatan ini diadakan setiap hari selasa, yang meliputi jamaah sholat Dhuhur, pengajian tentang ilmu agama sampai jamaah sholat Ashar.
Alhamdulillah, apa yang dirintis oleh Mbah KH. Mohammad Shoib dapat dipertahankan sampai pada saat ini. Bahkan boleh di bilang dapat berkembang dengan baik.
III. Tahap Pengembangan
Di era 70an, putra putri Mbah KH. Mohammmad Shoib telah pulang dari pindok pesantren, tempat mereka mengaji memperdalam ilmu agama. Antara lain dari pondok Makam Agung Tuban, Langitan, dan peterongan Jombang.
Berdasarkan pengalaman yang mereka peroleh, maka putra putri beliau mulai menata ulang pondok pesantren. Baik secara administrasi maupun menejemennya.
Tepatnya pada tahun 1975 pondok pesantren mulai dibenahi baik tempat, sistem pendidikan, jadwal kegiatan dan pendanaannya. Adapaun yang terjun langsung dalam pembenahan pondok pesantren adalah putra belilau KH. F Ghufron Achmadi.
Sampai pada tahun 1977 para santri masih tertata dalam kegiatan pondok pesantren. KH. F Ghufron Achmadi mulai memikirkan perlu adanya perhatian tentang masa depan santri untuk menghadapi persaingan dalam era globalisasi. Itu berarti Santri juga perlu pendidikan formal. Maka lahirlah Madrasah Tsanawiyah pada tahun ini. Dengan fasilitas seadanya sesuai dengan kondisi pondok saat itu.
Setelah tamatan Madrasah Tsanawiyah menumpuk selama enam tahun (1979-1983). Ternyata banyak alumni MTs yang tidak dapat melanjutkan jenjang yang lebih tinggi yang hanya ada di kota. Sebabpada saat itu di kecamatan Sugio belum ada Sekolah Menengah Atas (SMA) dan setingkatnya.
Sehingga alumni MTs yang ingin melanjutkan jenjang yang lebih tinggi harus ke kota seperti kalau melanjutkan PGAN harus ke Mojokerto atau ke Bojonegoro dan bila ingin melanjutkan SMA harus ke Lamongan. Melihat situasi ini maka pondok pesantren pada tahun 1983 memberanikan diri mendirikan SMA, sekaligus Madrasah Ibtidaiyah (MI) Darul Ulum. Pendidikan formal yang ada di beri nama Lembaga Pendidikan Pondok Pesantren Darul Ulum (LP3DU).
Dengan pengelolahan pendidikan dalam pondok pesantren yang berjalan baik. Maka pemerintah berminat untuk kerja sama dengan pondok pesantren. Pemerintah menawarkan sekolah negeri. Dengan pembagian, tanah disediakan pondok pesantren, gedung dan guru disediakan oleh pemerintah. Pondok pesantren juga berhak memasukkan pendidikan agama. Maka tepatnya pada tahun 1996, didirikanlah SMPN 3 Sugio di kompleks peondok pesantren sunan drajat. Atas kerja sama pemerintah dengan pondok pesantren
IV. Masa Sekarang
Hasil jerih payah sesepuh dan dukungan generasi penerusnya. Terwujudlah Lembaga Pendidikan Pondok Pesantren Darul Ulum memiliki 75 tenaga pengajar dan 975 anak murid. Bahkan sekarang pengajian setiap hari selasa dimantapkan dengan Thoriqoh Qodriyah Wan Naqsyabandiyah.
Selengkapnya...